Selasa, 26 Agustus 2014

Delegasi PPKHM mengikuti Rakordasi Pondok Pesantren se-Yogyakarta



ppkhm-yogya.blogspot.com – Demi untuk memajukan mutu pendidikan dan manajemen Pondok Pesantren, Kemenag Kota Yogyakarta mengadakan Rakordasi Pondok Pesantren. Sebagai Pondok Pesantren yang memiliki keinginan untuk menjadi lebih baik, PPKHM juga mengirimkan delegasinya untuk menghadiri Rakordasi tersebut.

Acara diadakan hari ini (26/8) di Kantor Kemenag Kota. Dimulai sejak pukul 09:15 sampai dengan pukul 11:30. Acara tersebut menghadirkan KH. Ali Yusuf, yakni Pengasuh Pondok Pesantren Fauzul Muslimin sebagai pemateri. Salah satu Pondok Pesantren yang kebetulan masih “tetangga” dengan PPKHM.

Salah satu materi yang disampaikan adalah bahwa peran Pondok Pesantren sebagai “bengkel” bagi santri yang sebelumnya telah/banyak melakukan tindakan “buruk.” Dalam artian Pondok Pesantren bertujuan sebagai wahana meperbaiki moral santri yang sebelumnya buruk untuk menjadi lebih baik. Tak heran jika ada beberapa Pesantren yang terkenal dengan santri-santrinya yang justru mbeling.

Meskipun demikian, tidak benar jika dikatakan bahwa semua Santri itu nakal. Banyak pula Santri yang berangkat ke Pesantren karena kesadaran. Berkeinginan untuk mengenal Agama Islam lebih baik. Nah! Untuk mengatasi Santri yang nakal tersebut, memang dibutuhkan proses yang panjang. Dan untuk melewati proses tersebut, juga dibutuhkan kesabaran yang luar biasa.

Meskipun dikatakan bahwa kesabaran manusia itu tidak ada batasnya, namun kita juga tidak boleh mengabaikan akibat negatif jika terlalu sabar. Dalam hal ini tentu saja dalam artian menghadapi santri mbeling tersebut. Jika setelah berkali-kali diberi kesempatan dan santri tersebut belum juga berubah, maka jalan terakhir yang diambil adalah ‘mengeluarkan’ santri tersebut dari lembaga pesantren. Tentu saja dengan diiringi doa agar kelak Ia bisa menjadi lebih baik. Karena Allah-lah satu-satunya dzat yang maha memberi hidayah. Manusia hanya diberi kesempatan untuk berusaha.

Berkaitan dengan santri mbeling tersebut, jika tidak segera dikeluarkan, dikhawatirkan justru akan menjadi “virus” yang akan menulari teman-teman santri yang lain. Karena sudah jamak kita ketahui jika penularan pengaruh negatif lebih mudah dan lebih cepat daripada pengaruh positif. (*)

Kamis, 03 Juli 2014

Jalan Pintas



ppkhm – Tok tok tok,,, itulah suara yang sering terdengar hari ini (03/07) di PPKHM (Pondok Pesantren Kotagede Hidayatul Mubtadi-ien). Tepatnya dari arah kamar A5 atau biasa disebut juga dengan Kamar Jeding. Karena di kamar tersebut ada kamar mandinya (Jeding-Jawa).

Suara tersebut berasal dari Pak Tukang yang sedang memasang pintu. Meskipun dikatakan memasang pintu, bukan berarti ada bangunan baru di PPKHM. Karena pintu tersebut dipasang setelah menjebol dinding bangunan lama. Di kamar A5 itu, Kamar jeding.

Tujuan penjebolan dinding ini sebenarnya simpel saja, yakni sebagai jalan pintas. Dari lokasi Pondok yang lama, menuju ke lokasi Pondok yang baru.

Penjebolan dinding yang dimaksudkan sebagai jalan pintas ini, sebenarnya sudah direncanakan jauh-jauh hari. Sekitar satu tahun yang lalu. Semenjak Pondok membeli tanah yang lokasinya di belakang bangunan Pondok yang lama. Tapi karena tanah tersebut sedang dikontrak oleh orang lain, penjebolan dinding baru bisa direalisasikan hari ini (03/07). Setelah kontrak selesai. (*)

Sabtu, 03 Mei 2014

Berbeda Itu Rahmat

Sumber gambar: innomuslim.com


Sebenarnya sudah lama saya ingin menuliskan artikel ini. Tapi terkendala banyak kendala. Kendala yang paling besar terletak pada tidak adanya referensi untuk memperkuat artikel ini. Meskipun sebenarnya bisa saja saya menuliskan artikel tanpa referensi. Karena banyak juga penulis-penulis tersohor yang menulis tanpa referensi. Bahkan ulama-ulama muslim banyak juga yang menuliskan karya-karyanya tanpa referensi.

Tapi tetap saja saya merasa perlu untuk membubuhkan referensi. Hal itu tentu saja karena status saya yang selain santri juga merupakan mahasiswa. Dan sebagai mahasiswa, tentu saya juga harus bersikap layaknya mahasiswa. Segalanya serba akademis. Termasuk jika menuliskan artikel.

Dan akhirnya, dengan terpaksa saya harus gigit jari. Referensi yang saya cari-cari tidak kunjung ketemu. Sudah banyak cara saya tempuh untuk mengais referensi ini. Mulai dari tanya-tanya temen, sampai tanya Mbah Google. Dari temen-temen cuma diberi kalimat seperti ini “iya, saya pernah denger itu. Tapi lupa dimana.” Dari Mbah Google sebenarnya ada, tapi kurang memuaskan.

Daripada menunggu sesuatu yang tak jelas dan tak kunjung didapat, akhirnya saya tuliskan juga artikel ini. Meskipun tanpa referensi yang gamblang. Siapa tahu ada sahabat-sahabat pembaca yang tahu referensinya dan berkenan berbagi dengan saya. Karena barang siapa yang menyembunyikan ilmu Ia dijauhkan dari rahmat tuhan.

Artikel yang ingin saya tulis itu berkaitan dengan perbedaan pandangan mengenai kesunahan mengacungkan jari ketika tasyahud. Saya tidak tahu bagaimana di negara lain. Tapi setahu saya, di Indonesia terdapat dua perbedaan yang mencolok.

Ada yang berpendapat ketika bacaan tasyahud seseorang sampai pada lafadh asyhadu alla ilaha illallahu maka disunnahkan untuk mengacungkan jari. Dan cukup hanya mengacungkan jari saja. Tidak perlu ditambah gerakan-gerakan lainnya.

Sedangkan pendapat yang lainnya mengatakan, bahwa mengacungkan jari telunjuk saja tidaklah cukup. Melainkan harus disertai pula dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk tersebut.

Sebenarnyalah inspirasi untuk menulis artikel ini tidak muncul begitu saja. Ada sebab pemicunya. Dan pemicu tersebut muncul ketika saya mengaji kitab Al Amtsilatut Tashrifiyyah. Sebuah kitab yang dikarang oleh ulama kita sendiri. Kyai Muhammad Ma’shum bin ‘Ali dari Kwaron Jombang Jawa Timur. Seorang ulama yang tidak begitu dikenal meskipun karyanya sudah mendunia.

Bahkan, seperti apa potret beliaupun mungkin hanya diketahui oleh keluarga beliau sendiri. Diluar itu tampaknya tidak ada dokumentasi tentang beliau. Hal ini wajar saja. Karena sebelum meninggalnya Kyai Muhammad Ma’shum membakar satu-satunya potret beliau. Sampai saat ini tidak diketahui apa motifasi beliau membakar potret beliau itu.

Dalam kitab Al Amtsilatut Tashrifiyyah ada bab yang judulnya seperti ini, Al Babul Awwal Minast Tsulatsiyil Mazid. Bab ini menerangkan tentang sebuah kata dasar dalam bahasa arab yang ditambahi tasydid. Meskipun hanya menambah tasydid, namun hal itu sudah cukup untuk merubah makna dari dasar kata tersebut. Tidak tanggung-tanggung, ketika suatu dasar kata dalam bahasa arab ditambah tasydid, maka ia akan memiliki lima makna alternatif.

Lima makna alternatif tersebut masing-masing adalah:
1.       Lit Ta’diyyah
2.       Lid Dilalati ‘alat Taktsiri
3.       Linisbatil Maf’uli ila Ashlil Fi’li
4.       Lisalbi Ashlil Fi’li minal Maf’uli
5.       Lit Tikhodil Fi’li minal Ismi.

Tentu saja saya tidak akan menerangkang masing-masing dari lima alternatif makna tersebut. Saya hanya akan menerangkan alternatif makna yang berkaitan dengan masalah perbedaan pandangan di atas. Dan yang berkaitan dengan hal itu hanya alternatif makna nomer satu dan nomer dua.

Seperti yang sudah saya bahas di atas. Bahwa ada dua perbedaan pandangan mengenai mengacungkan jari telunjuk ketika duduk tasyahud akhir. Sebenarnyalah kita tidak perlu merisaukannya.

Pendapat pertama yang mengatakan bahwa ketika kita membaca tasyahud akhir disunahkan untuk mengacungkan jari saja. Dan tanpa ada gerakan lain lagi. Sebenarnya pendapat ini mengikuti alternatif makna yang nomer satu. Lit ta’diyyah. Mengubah fi’il lazim (kata kerja yang tidak membutuhkan objek) menjadii fi’il muta’adi (kata kerja yang membutuhkan objek).

Konon katanya hadits yang menunjukkan tentang mengacungkang jari ketika tasyahud ini berbunyi yuharriku. Saya mengatakan ‘konon’, karena hadits ini sudah saya cari-cari dan belum ketemu. Teman-teman sampai Mbah Google pun sudah saya tanyai. Namun semuanya tidak ada yang memberikan jawaban memuaskan.

Lafadh yuharriku tersebut tepat sekali jika dimasukkan dalam bab Al Awwal Minats Tsulatsiyil Mazid. Tepat karena ada penambahan tasydid pada kata ini. Asal kata dari yuharriku adalah yahriku. Ketika ditambah tasydid maka kata yahriku tersebut akan memiliki setidaknya satu dari alternatif-alternatif makna di atas.

Lafadh yahriku sendiri awalnya adalah merupakan fi’il lazim (tidak membutuhkan objek). Contohnya: yahriku zaidun. Zaid sedang bergerak. Ketika lafadh yahriku ditambahi tasydid maka maknanya akan berubah. Dan jika kita melihat pada alternatif makna nomer satu, contohnya akan menjadi seperti ini. Yuharriku zaidun yadahu. Zaid menggerakkan tangannya (ada objeknya). Dan alternatif makna nomer satu inilah yang dijadikan landasan oleh orang-orang yang berpendapat dengan cukup menggerakkan (mengacungkan) jari telunjuk saja ketika tasyahud. Tanpa ditambahi dengan menggerak-gerakkannya.

Sedangkan pendapat kedua, yang mengatakan tidak cukup hanya dengan mengacungkan jari saja, melainkan juga harus disertai dengan menggerak-gerakkannya, mereka mengikuti alternatif makna yang nomer dua. Lid dillalati ‘alat taktsiri. Untuk menunjukkan makna banyak. Untuk contohnya, kita masih bisa menggunakan contoh yang pertama. Yuharriku zaidun yadahu. Zaid menggerak-gerakkan tangannya.

Dan sudah jelaslah akar permasalahan yang melandasi perbedaan tersebut. Yakni memang berbedanya landasan yang digunakan. Dan sudah selaknyalah bagi kita untuk tidak terlalu memperuncing perbedaan-perbedaan tersebut. Yang harus menjadi fokus kita saat ini adalah justru mencari titik-titik temu dari masing-masing perbedaan tersebut. Dan seandainya tidak kita temukan titik temu, maka kita masih bisa untuk menyikapi perbedaan sebagai sesuatu yang fitri. Bahkan sebagai rahmat (kasih sayang) yang diberikan Tuhan. Al khilafu baina ummati rahmatun. Perbedaan di antara umatku adalah rahmat. Begitu sabda Nabi ‘alaihis sholatu wassalam. (DPM)

Senin, 31 Maret 2014

Tanya ‘Wadha’a’

Sumber gambar: himasal.lirboyo.net

ppkhm-yogya.blogspot.com - Sudah jamak diketahui bahwa lafadh wadha’a adalah bagian dari bab tiga dalam Tasrif Amtsilati. Sejauh wawasan saya, dari dulu sampai sekarang, wadha’a adalah bagian dari bab tiga. Hingga wawasan itu harus harus porak poranda malam Ahad kemarin. Dalam mata pelajaran I’lal.

Kejadiannya bermula ketika seorang kawan bertanya “Kok lafadh maudhi’un (isim zaman wa makan dari lafadh wadha’a) nggak ada I’lalnya? Padahal, kalau diikutkan bab tiga seharusnya berbunyi maudho’un.”

Suatu pertanyaan yang tak terpikirkan sebelumnya. Guru kami, Ust. Muchlishin, bahkan juga bingung menjawabnya.
Guru kami lantas berspekulasi. “Lafadh wadha’a ini, jangan-jangan sebenarnya masuk bab dua. Meskipun lam fi’il-nya berupa huruf halqi.”

Memang benar, jika dimasukkan ke bab dua masalah ini akan selesai. Tapi kemudian akan menarik masalah lain. Karena dalam deret tasrif amtsilati dari lafadh wadha’a hanya sighot masdar mim dan isim zaman wa makan-nya saja yang bermasalah. Selainnya normal.

Selain itu, jika kita menengok persyaratan lafadh-lafadh yang bisa dimasukkan ke dalam bab dua, kita akan menemukan bahwa dari binak mitsal wawi hanya yang lam fi'ilnya bukan berupa huruf halqi yang bisa dimasukkan ke dalam bab dua. Entahlah, sampaisaat tulisan ini ditulis, saya belum menemukan jawaban dari masalah ini. (*)

Senin, 24 Februari 2014

Perayaan Harlah Ke-3 PPKHM

Dari pojok kiri atas: KH. Munir Syafa'at, Habib Abdul Qadir, KH. Raden Kholil As'ad, Hadirin Pengajian

ppkhm-yogya.blogspot.com – Setelah melalui proses panjang yang melelahkan, akhirnya kegiatan Harlah Ke-3 sekaligus peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. di Pondok Pesantren Kotagede Hidayatul Mubtadi-ien (PPKHM) terlaksana juga. Perencanaan untuk harlah ini sudah dirancang sejak jauh-jauh hari. Namun realisasi segala rencana tersebut baru dikebut dua minggu menjelang acara. Meskipun terkesan nubyak-nubyak tapi kegiatan harlah ke-3 di PPKHM ini tergolong lancar dan hampir tanpa kendala yang berarti.

Rangkaian kegiatan Harlah-3 PPKHM ini dimulai dari semaan Al Quran yang berlangsung sejak pagi (22/02) hingga sore harinya. Sebenarnya setelah membaca do’a Khotmul Qur’an pada sore harinya (ba’da ashar), KH. Munir Syafa’at sudah mengajak para santri untuk memanjatkan do’a agar acara Harlah-3 berjalan lancar dan tidak diguyur hujan. Tapi apalah daya, malam harinya tetap hujan. Meskipun hanya sekadar gerimis. Biar bagaimanapun kehendak Tuhan itulah yang terbaik.

Malam harinya yang bertindak sebagai pemandu acara adalah Bagas Mulyanto. Acara diawali dengan pembukaan, pembacaan ayat-ayat suci Al Quran, sambutan dari KH. Munir Syafa’at, doa oleh Habib Abdul Qadir bin Hadi Al Hadar, kemudian puncak acara yaitu Mauidhoh Hasanah oleh KH. Raden Kholil As’ad.

Dalam penyampaian Mauidhoh Hasanah, Kyai Kholil memiliki ciri khas tersendiri. Beliau tidak berceramah panjang lebar seperti kebanyakan Mubaligh pada umumnya. Tetapi beliau mempersilahkan kepada para hadirin untuk bertanya apa saja. Kemudian beliau akan menyuruh santrinya untuk membacakan ayat Al Quran yang berkaitan dengan masalah tersebut. Selain membersilahkan hadirin untuk menanyakan barbagai hal, Kyai Kholil juga mempersilahkan hadirin untuk bertanya mengenai siroh nabawiyah (riwayat perjalanan Nabi Muhammad). Dari mulai kelahiran Nabi sampai wafatnya. Para santri Kyai Kholil pun memaparkan siroh nabawiyah secara rinci sesuai dengan pertanyaan para hadirin.

Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah “tolong bacakan Ayat Al Quran mengenai larangan wanita menjadi pemimpin.” Pertanyaan ini diajukan oleh Santriwati PP. Nurul Ummah Putri.
Pertanyaan tersebut langsung dijawab oleh Kyai Kholil. Tanpa menunggu pembacaan Ayat Al Quran dari santri beliau. Karena dalam Al Quran tidak ada ayat yang membahas masalah tersebut secara gamblang.

Kyai Kholil menjelaskan bahwa di dalam Al Quran tidak ada ayat yang melarang wanita untuk menjadi pemimpin. Tetapi juga tidak ada ayat yang mendukung perempuan untuk menjadi pemimpin. Sedangkan untuk laki-laki, tidak ada ayat yang melarang laki-laki untuk menjadi pemimpin, tetapi ada ayat yang mendukung laki-laki untuk menjadi pemimpin. Di antaranya adalah ayat yang berbunyi ar rijalu qowwamuna ‘alan nisa.

Begitu juga dalam hadits Nabi. Tidak ada hadits yang secara gamblang melarang wanita untuk menjadi pemimpin. Hanya saja Nabi pernah bersabda “Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh serang wanita.” Dan Hadits tersebut bukan merupakan larangan.

Kyai Kholil melanjutkan, meskipun beliau tidak mendukung wanita menjadi pemimpin, tetapi beliau wanita-wanita yang duduk di jajaran DPR. Karena pada masa Khalifah Umar Ibni Khottob, beliau (Khalifah Umar) pernah mengangkat wanita-wanita sebagai pengurus atau pengelola pasar. (*)